Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto Mak Katik, Pelaku seni tradisi

SPONTAN PENGANTAR MAK KATIK

 

Ka Tuhan tangan ditadahkan

Samo kito mintak ka Ilahi

Bakaua bakeh ka nan Kuaso

Jan lapuak budaya dalam lipatan

Jaweklah warih kini-kini

Tabanam apo ka gunonyo

 

Dalam tradisi lisan masyarakat Minangkabau, pantun menempati kedudukan penting. Seluruh peristiwa komunikasi diwarnai oleh kehadiran pantun. Tanpa pantun, komunikasi tidaklah lengkap. Petuah, warisan norma, dan pesan disampaikan melalui pantun. Tidak hanya dengan penyampaian melalui pembicaraan, pantun juga disampaikan dalam bentuk seni pertunjukan.

 

Dalam dialog, pidato atau komunikasi lainnya, pantun disampaikan dengan irama tertentu yang menarik. Irama penyampaian ia kemudian berkembang sehingga penyampaian pantun menjadi indah dan enak terdengar dan berkembang menjadi seni tersendiri. Dalam dialog atau syair yang didendangkan dalam seni pertunjukan tradisi Minangkabau, pantun menjadi sangat dominan, sebutlah misalnya randai, dendang saluang, rabab, salawaik dulang, basijobang, tupai janjang, atau bakaba.

 

Melihat kepentingan dan posisi penyampaiannya, kita mengenal beberapa pengelompokan pantun, antara lain pantun adat, pantun nasehat, pantun muda, pantun humor dan lainnya. Pada pantun Minangkabau asli, ada beberapa ciri khas: Satu baris biasanya terdiri dari 8 – 10 suku kata, idealnya 9 suku kata. Pantun 4 baris mengandung rima bunyi. Istimewanya, pada pantun Minangkabau lama, sampiran dan isi mempunyai keterkaitan yang erat, lebih dari sekedar persamaan rima bunyi. Malah ada pantun yang antara sampiran dan isi tidak bisa dipisahkan lagi, ini dikenal sebagai pantun bidarai. Pada masa yang lebih kemudian, pembuatan pantun, apalagi pantun yang spontan,  penyamaan rima bunyi sampiran dan isi menjadi hal yang lebih dahulu dipentingkan. Masyarakat tradisi menamakannya sebagai ‘hadis melayu’

 

Membaca buku pantun berseri “Pantun Spontan ala Irwan Prayitno” sangat menyenangkan hati. Walaupun pantun beliau tidak sepenuhnya memakai bahasa Minang, malah kadangkala juga memakai kata asing, yang paling penting adalah bahwa beliau sudah memelihara khasanah sastra lisan orang Minangkabau. Selain akhirnya ini menjadi ciri khas, pemakaian pantun dalam hampir setiap pidato beliau telah memperlihatkan identitas dan akar budayanya. Pantun telah ikut menandai kehadirannya sebagai seorang pemimpin formal, sebagai seorang datuk, atau sebagai seorang guru besar.

 

“Kain dipakai usang, adaik dipakai baru”

 

Dalam konteks hari ini, Pantun Spontan yang dilakukan Pak Irwan Prayitno dalam pidato dan komunikasi yang beliau lakukan dalam banyak kesempatan, bisa menjadi pintu masuk untuk tetap berupaya memelihara ‘aleh bakua’ dan akar budaya Minangkabau. Kumpulan pantun yang beliau sampaikan dalam berbagai kesempatan dan peristiwa yang berbeda, kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku ini. InsyaAllah ini akan memperkaya pemahaman kita terhadap kearifan Minangkabau menghadapi hari ini. Selamat.

 

Padang, Januari 2017

Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto Mak Katik

Pelaku seni tradisi, dan penulis pantun tradisi Minangkabau