Komentar tentang Pantun Spontan ala Irwan Prayitno

A.R. Rizal (Wartawan Singgalang)

Pantun Gubernur
A.R. Rizal (Wartawan Singgalang)

Lah masuak MURI pantun tu. Tu baa rakyat Sumbar dek e?

Ini adalah sebuah status yang dibuat seseorang di media sosial. Status sejenis, kini sedang viral. Status tersebut menyinggung buku pantun yang ditulis Gubernur Sumbar Irwan Prayitno. Puluhan ribu pantun ditulis sang gubernur, sehingga ia mendapat penghargaan Museum Rekor Indonesia. Gubernur senang, tapi ada segelintir orang yang justru kambuh penyakit asam uratnya. Entah mengapa. Soal gubernur berpantun kemudian dihubung-hubungkan dengan data pengaduan masyarakat kepada Ombusman, pantun dihubung-hubungkan dengan masalah politik, birokrasi, hingga kecemburuan sosial. Kalau status semacam itu dibuat oleh orang awam, saya bisa maklum. Tapi, status itu dibuat oleh mereka yang mengaku budayawan, sastrawan, mengaku penulis. Kalau yang satu ini, akal sehat saya menjadi meriang.

Di media sosial orang bebas berkomentar apa saja. Antara waras dan tidak waras, hampir tak bisa membedakannya. Tinggal pembaca media sosial yang pandai-pandai mengunyah-gunyah apa yang ada di dunia maya itu. Tapi, media sosial kerap melahirkan sebuah perbincangan wacana yang menarik. Perbincangan tentang pantun yang marak akhir-akhir ini salah satunya.

Memperbincangkan pantun adalah sesuatu yang tak ada istimewanya. Sebagai bentuk karya sastra, pantun adalah genre sastra lama. Pantun pernah hidup dalam karakter masyarakat. Berpantun menjadi tradisi masyarakat Melayu, termasuk masyarakat Minangkabau. Tak hanya Melayu, tradisi berpantun juga menjadi hidup dalam masyarakat nusantara lainnya. Bisa dikatakan, pantun sudah menjadi budaya nasional. Sejalan dengan perubahan zaman, munculnya puisi-puisi modern, tradisi berpantun kemudian hilang. Masyarakat Minang bingung, pantun sangat penting dalam berbagai kegiatan ritual budaya. Untuk membuat hitungan, orang berpantun, untuk memulai mufakat, orang Minang berpantun. Celakanya, sekarang tak banyak lagi orang Minang yang pandai berpantun. Berpantun itu menjadi tak gaul, tak keren, ketinggalan zaman. Ketika pantun kini kembali diperbincangkan, ini menjadi sesuatu yang luar biasa.

Gubernur Irwan Prayitno bukan yang pertama atau satu-satunya pejabat yang berpantun. Ketika menjadi Mentri Kominfo, Tifatul Sembiring juga sering berpantun. Ketika, putra Bukittinggi itu sekarang menjadi anggota DPR-RI, ia tak berhenti berpantun. Kalau Tifatul hanya membacakan pantunnya di berbagai kesempatan, Irwan Prayitno lebih maju selangkah. Ia menuliskannya. IP melakukan dua hal sekaligus, menghidupkan sastra lama dan menghidupkan tradisi menulis sebagai ciri sastra modern. Berpantun sudah menjadi ciri orang Minang. Hebatnya lagi, orang Minang pula yang kembali menghidupkan tradisi tersebut.

Apa salahnya gubernur berpantun? Kalau ada yang bertanya seperti ini, sama artinya mempertanyakan kenapa Taufik Ismail membuat puisi. Taufik Ismail itu kan dokter hewan, untuk apa pula dokter hewan menulis puisi? Sama juga dengan mempertanyakan kenapa Fadlizon membuat buku tentang orkes Gumarang. Fadlizon kan Wakil Ketua DPR-RI, untuk apa pula ia menulis buku budaya?

Kalau ada yang membuat status yang menghubung-hubungkan menulis pantun dengan masalah politik, birokrasi, atau bahkan dengan masalah tak makan, itu sebuah logika yang jungkir balik. Pantun tentu saja tak bisa membuat kenyang, pantun tak bisa menyelesaikan urusan rakyat. Tapi, kalau ada yang bertanya apakah pantun bisa menyelesaikan masalah lapar, itu pertanyaan yang bodoh. Sama saja bertanya tentang bagaimana membuat pesawat terbang kepada dokter kandungan. Sebuah rumah itu ada bilik-biliknya. Sastra pun demikian, sudah ada ranahnya.

Pantun tentu saja boleh diperbincangkan, boleh dikritik. Ranahnya adalah kritik sastra. Pantun Irwan Prayitno bisa dikritik secara intrinsik atau ekstrinsik. Secara intrinsik bisa menggunakan pisau kebahasaan dengan pendekatan struktural, atau kajian gaya dan makna. Secara ekstrinsik, pantun IP bisa dikaji dari sisi konteks sosial, politik, hukum, atau budaya. Tapi, kajian ekstrinsik tetap mengacu pada pantun itu sendiri sebagai karya. Menghitung-hitung pantun IP dengan ketidakcakapannya sebagai gubernur, itu bukan wilayah kritik sastra.

Sekarang aur dan tepian itu bercampuraduk saja. Tapi, kalau sesuatu itu tak ditempatkan pada ranahnya, bisa-bisa sesat pikiran jadinya. Pantun sebagai karya dihakimi dengan kritik sastra. Tapi, seorang penulis tak bisa dihakimi karena karyanya. Sebab, ketika sebuah karya lahir, maka ketika itu penulisnya mati. Begitulah seharusnya membaca pantun Irwan Prayitno. Hakimi pantunnya itu dengan kritik sastra. Tapi, jangan hakimi Irwan Prayitno sebagai gubernur karena pantun yang ditulisnya.

Penghakiman terhadap penulis karena karya-karyanya adalah sebuah perlakuan buruk dalam proses kreatif. Penulis itu seharusnya diapresiasi karena karya-karyanya. Dengan begitu, tradisi menulis, tradisi berkarya semakin hidup. Kita mesti mendorong semakin banyak orang menulis. Menulis pantun, menulis puisi, esai, novel, atau apalah. Tak hanya kreativitas menulis, kreativitas di bidang lain mesti ditumbuhkan pula. Orang-orang yang kreatif, orang-orang yang berkarya akan membuat sebuah negeri itu berkembang dan maju.

Silahkan hakimi pantun-pantun Irwan Prayitno dengan kritik sastra. Kalau ingin menghakimi Irwan Prayitno sebagai gubernur, itu tak masalah pula. Kritiklah dengan segala macam cara mengkirik, terserahlah caranya. Tapi, jangan kritik gubernur itu dengan mempermasalahkan pantun yang ditulisnya. Terakhir, izinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah pantun:

Ke Kuranji di hari selasa
Jangan lupa membawa sukun
Mengkritik bolehlah saja
Mari mengkritik sambil kita berpantun

Yulizal Yunus

 

Al-SYI’R AL-TASJȊLIY DAN PANTUN SPONTAN ALA IRWAN PRAYITNO

(Keberlanjutan Sejarah Tradisi Sastra Melayu,Arab Klasik dan Ulama Minang Menyair)

 

Oleh: Yulizal Yunus

Menarik, seorang Gubernur seperti Irwan Prayitno gemar menulis dan membaca pantun dalam berbagai orasi. Bahkan ia mentradisikan berpidato (berorasi) spontan berpantun dalam memberi sambutan dan memberi amanat pada setiap acara (event) yang dihadiri dan atau yang dibukanya selaku Gubernur. Dari lidahnya meluncur spontan serangkaian pantun. Untaian pantunnya (genre syair) ini memperlihatkan keaslian pikir dan keaslian stilistika (uslub, gaya) sastra yang spasifik. Tidak hasil hafalan “batang”, “ranting” dan “bunga” pantun “sako” yang sudah ada diwariskan turun temurun di dalam masyarakat adat Minangkabau. Fenomena cara berpantunnya ini menginspirasi keberlanjutan tradisi intelektual sastrawan Ulama Minang menyair masa pujangga lama. Ia sendiri menyebut pantun spontannya adalah gayanya sendiri “ala Irwan Prayitno”. Artinya pantun itu terucap serta merta, tanpa pikir dan wajar sebagai bagian makna spontan.

Dampak cara berpantun spontan Irwan Prayitno ini tanpa disadari mentradisi. Faktanya cara berpantun ini diikuti para pejabat terutama oleh unsur Forkopimda Sumatera Barat dalam pidato amanat dan memberikan sambutan pada setiap acara. Tradisi berpantunnya (bersyair) seperti ini selain mengingat kegemilangan “syair siar syi’ar taklimat syari’at dan akidah” dari ulama, juga menginspirasi mengungkap kembali tradisi Islam masa kejayaan Islam dahulu. Tradisi itu bagian warisan tradisi agung Arab klasik dalam pidato dan orasi, maternya sudah merupakan wacana talk menarik dan bergaya khas syair. Bahkan pidatonya yang seperti style syair itu, sudah memiliki unsur musikal dengan rima aa aa atau ab ab. Demikian pula cara berpantun yang ditradisikan Irwan itu, menggugah ingatan kolektif umat Islam pada tradisi para khalifah Islam masa keemasan dulu. Khalifah pada masa itu justru memberi perhatian khusus terhadap syair dan sastra umumnya.

Para khalifah Islam dulu itu, terutama masa Abbasiyah, menghargai syair dan memotivasi penyairnya menulis dan membaca syair. Para penyair termotivasi berkarya kreatif menulis syair dan membacanya di depan khalifah. Khalifah pun terinspirasi bersyair dalam setiap berpidato dan memerintahkan syair itu diajarkan pada anak-anak mereka, agar anak mereka memiliki kearifan dan piawai bicara santun. Gerakan bersyair dari istana itu disebut dengan istilah tasyji’ al-khulafa (gong sastra itu dibunyikan dari istana). Para ulama pun termasuk di Minangkabau sudah pula sejak lama mewarisi dan mempunyai tradisi bersyair yang sudah sampai ke tahap antropomorfik meminjam istilah Braginsky (1998). Dari tradisi ulama bersyair itu dapat dicatat, “menyair menjadi ulama, syair itu syiar”. Rata-rata ulama di Minangkabau menyair. Dari fakta ini pula untuk kasus subkultur Minangkabau boleh diteorikan, “tiada ulama tanpa menyair” (Yulizal Yunus, 2010).

Tidak saja ulama Minangkabau dahulu hampir semua menyair bahkan pelopor sastra sufistik, juga di negara-negara Melayu Nusantara lainnya. Mereka menulis karya kreatif (sastra: syair, cerkan). Coba sebut, seorang saja ulama di Minangkabau, pasti ada karya kreatif syairnya. Di antara ulama itu misalnya, Dr. Abdullah Ahmad (Padang) punya antologi syair “Paroekoenan”, Dr. HAKA (ayah Hamka di Bayur, Maninjau) ada manuskrip antologi “Syams al-Hidayah”, Syekh Sulaman al-Rasuli (Candung) ada 5 antologi syair di antaranya terbesar “Enam Risalah” dan “Tsamarat al-Ihsan”, Syekh Chatib Ali al-Fadani (Lolo, makam di Masjid Istighfar Parak Gadang Padang) ada antologi “Delapan Masalah”, Syekh Muahmmad Dalil bin Muhammad Fatawi (Bayang, makam di Masjid Raya Ganting Padang) ada antologi “Nazam Dar al-Mau’izhah” yang pernah menginspirasi saya menulis buku “Sastra Islam di Indonesia, Kajian Kritis Syair Apologetik Syekh Bayang Pembela Tarekat Naqsyabandi” (Yulizal Yunus,1999). Semua ulama itu hidup masa pujangga lama yang sudah muncul sejak penghujung abad ke-20. Saya pikir Irwan Parayitno satu di antara pelanjut ulama menyair itu seperti ulama dan khalifah dahulu, justru ia juga ulama – muballigh dan khalifah (Gubernur) yang piawai berpantun spontan.

 

Irwan Prayitno, Singkat dalam Multi Talenta

 

Irwan Prayitno disadari atau tidak, sudah tercatat sebagai pelanjut ulama Minangkabau dan Melayu seperti juga khalifah masa kejayaan Islam dahulu, yang mentradisikan menyair. Ia putra bangsa terbaik dari suku bangsa Minangkabau, persisnya dari suku Tanjung di bawah payung panji Datuk Rajo Bandaro Basa dari Taratak Paneh, Kuranji, Pauh IX, Kota Padang. Ia bersaudara Khairul Ikhwan, Adib Al-Fikri dan Dewi Fitriana, lahir di Yogyakarta, 20 Desember 1960. Sebagai anak kamanakan dalam suku Tanjung, sirih pulang ke gagangnya dan pinang pulang ke tampuknya, kepadanya dipercayakan memangku gelar pusako, 27 Maret 2005 dengan gelar kebesaran Datuk Rajo Bandaro Basa payung di Suku Tanjung Taratak Paneh, Kuranji, Pauh IX Kota Padang (baca juga “Sang Datuak, 2005:10). Sekarang ia mengamanahkan tugas dalam jabatan sebagai Gubernur Sumatera Barat sudah untuk periode ke-2 (2016-2021) didampingi Wagub Nasrul Abit, sejak dikukuhkan 12 Februari 2016. Ia multi talenta. “… Namun ia selalu bersahaja, apa adanya” (Hendri Hassan, 2015: viii). Ia sukses, tentu tidak terlepas dari dukungan dan peranan keluarga bahagia isterinya Nevi Zuairina perempuan Minang (suku sepanjang, lahir 20 September 1965) dengan anak-anaknya. Di samping ia sebagai Gubernur, juga pemangku adat sebagai penghulu/ datuk, ustazd, ulama, pengusaha, politisi plus pernah anggota DPR RI, budayawan, penulis, penyair, seniman, musisi/ pemusik drummer plus penyanyi dan pembuat lagu, olah ragawa berbakat/ karatekawan dan pemotor trail. Ia sebagai salah seorang Doktor (Dr) lulusan cum laude UPM dengan IP 3,97 ini, dikenal sebagai akademisi terpandang dengan jabatan fungsional Profesor (Guru Besar) dengan gelar akademik Doktor (Dr.) Psi., M.Sc.  Guru Besar mengajar pada program pascasarjana Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Jakarta sejak tahun 1999.

Sebagai Guru Besar dan pendidik Islam, Irwan juga pendiri/ pemdina Yayasan Pesantren Adzkia, PT. Pendidikan Adzkia Indonesia, dan Yayasan Pendidikan Islam Adzkia yang sekolah dinaunginnya itu, cukup populer dan diminati anak-anak bangsa mulai dari pendidikan dasar (PAUD/ TK dan SD), pendidikan menengah (SMP dan SMA) sampai tingkat perguruan tinggi. Ia juga seorang politisi Indonesia pernah menjadi anggota legislatif di DPR RI (1999-2004) dari basis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dapil 1 Sumbar.

Tak pula dapat dilupakan Irwan, di samping mengajar sebagai guru besar, dan pemangku penghulu adat, juga ia ulama dan aktif sebagai da’i dan senantiasa berdakwah sepanjang kariernya sebagai Gubernur, politisi dan pengajar sebagai guru besar itu. Fenomena aktifitas dakwahnya terkesan sekali mengalir darah ulama dari ayahnya (Djamrul Djamal) dan ibunya (Sudarni Sayuti) keduanya lulusan PTAIN Yogyakarta dan dosen IAIN Imam Bonjol (sekarang UIN Imam Bonjol yang direktori Dr. Eka Putra Wirman, MA).

Sebagai Gubernur didampingi wagub Muslim Kasim awal periode (2010-2015) punya obsesi menyumbangkan dirinya “Irwan Prayitno untuk Sumbar Bangkit”, dituangkan dalam bukunya dengan judul sama dengan obsesinya itu. Adalah bangkit dari keterpurukan dalam puing-puing gempa 30 September 2009. Diikuti “kerja keras dan profesional serta saling bahu membahu multi stakeholders” (Yongki Salmeno,2015:20). Mendapat apresiasi pemerintah (pusat) dan daerah. Rakyat menyambutnya. Melihat langsung keadaan nagari dan masyarakat adat dalam setiap kunjungan dengan tekat Sumbar Bangkit. Setiap kunjungan daerah sering diadulat menjadi khatib jum’at. Di mana ia berkhutbah, berorasi dan berceramah dari lidah Irwan mengalir pantuan sebagai color orasi di samping ayat-ayat dan hadis sebagai sumber utama Islam. Penguasaan terhadap sumber dan permasalahan agama “sudah melebihi syarat seorang da’i”. Ceramahnya sarat analisa kritis. “Analisa dan ceramahnya tentang masalah agama dan kehidupan sehari-hari sederhana, masuk akal dan menyejukkan” (Yongki Salmeno, 2014:xix). Ia layaknya ulama. Ulama yang sastrawan penyair piawai berpantun spontan. Pantunnya itu menarik dan dikumpulkan, diterbitkan dan diluncurkan dalam bentuk antologi, yang diberi judul: Pantun Spontan ala Irwan Prayitno, cet.I. Padang: CV.K.Abdi Nusa, 2017. Saya mendapat kabar, sudah 16 jilid/ seri buku antologi Irwan, dengan titel yang sama.

 

Antologi Pantun Spontan Irwan Prayitno: Integratif

 

Saya memiliki 4 antologi Irwan Prayitno yakni buku antologi-1, buku antologi-2, buku antologi-3 dan buku antologi-4. Keempatnya dihadiahi langsung Irwan Prayitno kapasitas sebagai Gubernur ketika suatu kali saya bersama budayawan pemangku adat berkunjung ke kediamannya (rumah dinas Gubernur) di Gubernuran Sumatera Barat jalan Sudirman Padang. Saya pun menghadiahi sebuah al-Qur’an berbahasa Minangkabau bagian titipan Balitbangdiklat Kementerian Agama RI sebagai tim penyusun dan penerbitnya.

Secara esensial dari pantun spontan ala Irwan Prayitno teridentifikasi keaslian sitilistika dan pikiran (pesan) sarat dengan konten Islam dan Adat Minangkabau. Secara faktual, pantun spontannya ini bukan sekedar pantun. Lebih merupakan sayir dengan rangkaian konten bercerita (pragment) bersyair. Dari baris-baris inti pantunya secara didaktik kognitif sarat dengan materi pengajaran dalam berbagai displin keilmuan seperti konten Islam, adat, filsafat, sosiologi, sejarah, pendidikan Islam dsb. Cara berpantunnya pun, baik pantunnya itu sebagai  color dari orasi dan sambutan Gubernur, maupun materi dan pesan pengajaran yang dikomunikasikannya dengan cara bersyair dan bercerita pragment dapat dijadikan model pembelajaran modern. Sebagai model pembelajaran modern mengikuti pakar kurikulum di UIN Imam Bonjol Prof. Dr. Syafruddin Nurdin, MPd. bahwa cara bercerita pragement itu dapat digolongkan sebagai model pembelajaran modern integrative[2]. Lebih meyakinkan sebagai model pembelajaran integratif cara pragment, bila melihat genre syair pantun Irwan Prayitno ini.

Genre syair Irwan Prayitno, boleh dicatat dalam tiga klasifikasi jenis syair. Pertama dari setting cerita (waktu dan tempat), dapat digolongkan sebagai genre puisi kronik (chronicle verse,(al-syi’r al-tasjīli) dan puisi peristiwa (occasional verse, syi’r al-munāsibāt), yang secara esensial menjadi varian perjalan hidup. Kedua dari paradigma fungsi, pantunnya termasuk genre puisi majelis dan atau puisi seminar (syair nadwat, society verse) yang secara substansial memberi pemikiran sharing dalam sebuah kerapatan. Ketiga  dari sisi edukasi, pantunnya termasuk genre syair didaktik  (al-syi’r al-ta’limiy), yakni secara didaktif kognitif memberi pengajaran berbagai ilmu pengetahuan dengan cara bersyair/ berpantun. Genre dan fungsi pantun Irwan Prayitno ini, secara skematik dapat saya gambarkan sbb.:

Chronicle Verse dan Syi’r al-Munāsibāt

“Pantun Spontan Ala Irwan Parayitno”, ala itu pastilah menunjukkan milik atau gaya spesifik sendiri, tidak dimiliki oleh orang lain. Justru ia yang menulis dan mendeklamasikan pantun itu. Pantunnya itu merekam chronicle dan occasional dalam “rangkaian kegiatan” pada berbagai “peristiwa” yang dihadiri sesuai dengan kepiawaiannya. Yang jelas ia menulis pantun itu tidak berdasarkan hafalan “batang”, “dahan”, “ranting” dan “bunga” pantun adat dan atau pantun melayu, baik gaya ruba’i (empat-emapat baris) yang mempunyai dua baris sampiran dan dua baris isi. Ia menggubahnya dengan kreasi gayanya sendiri dan menjadi asli kreasinya sendiri. Stilistika (gaya bahasa) dan pikiran (pesan, rasi’il) asli miliknya sendiri. Kenapa pola pantunnya begitu dan begini dibanding dengan pola “pantun adat” dan “pantun melayu” empat-empat baris, yang bersajak (rima, qafiyah) aa-aa atau ab-ab dan menghitung suku kata antara 9 paling banyak 12 suku kata, tidak serupa dengan pantun yang sudah ada itu. Karena itu, tidaklah dapat dibantah, ini adalah pantun ala Irwan Prayitno. Ya sudah. Justru pantunnya mengalir spontan (serta merta dan wajar), setiap event, kegiatan dan peristiwa yang ia hadir di situ memberi sambutan dan amanat sekaligus membuka secara resmi acara itu dalam kapasitasnya sebagai Gubernur.

Makanah (fungsi) pantun spontan Irwan Prayitno cukup penting dalam mencatat mencatat peristiwa kronik berbagai kegiatan penting pula dalam varian kehidupannya yang muti talenta itu. Artinya pantunnya itu tidak sekedar pantun, tetapi di dalamnya sarat dengan catatan fenomena (peristiwa) berbagai rangkaian kegiatan sesuai dengan setting (waktu dan tempat tertentu). Peristiwanya itu runut dan fenomenanya luas menceritakan jalan peristiwa dalam berbagai setting. Fenomena pantun gaya bersyair lama ini, tanpa disadari melanjutkan tradisi bersyair ulama intelektual masa pujangga lama. Isinya di samping mencatat peristiwa dan kronik kegiatan, juga tidak bisa dilepaskan sebagai varian sejarah hidup dan kehidupan yang ia catat sendiri (otobiografi) sepanjang karirnya sebagai Gubernur. Karenanya pantun Irwan ini, tidak sekedar pantun tetapi sudah berbentuk syair dan mentradisikan pidato dengan cara bersyair. Cara ini mengukuhkan kembali Minangkabau sebagai negeri puisi dengan kebesar “istana kata” dan dibangun di hati sanubari yang bening dan intuitif. Justru tradisi bersyair Irwan seperti pada ulama Minangkabau sejak abad ke-19 dulu, syair yang dimunculkan berjenis chronicle verse (puisi koronik) dan occasional verse (puisi peristiwa) juga. Kedua genre syair dimaksudkan (Emil Ya’qub, 1987) itu, pertama puisi kronik, sengaja digubah untuk mencatat kronik kegiatan yang pernah dilakukan dan suatu kegiatan yang diberi sambutan, sekaligus mencatat peristiwa semasa yang menyejarahkan (dapat menjadi sejarah) berbagai rangkaian kegiatan. Karena rangkaian kegitan itu secara kronik diikuti dan menjadi esensi pantunnya, maka pantun itu merupakan varian perjalanan hidupnya sendiri (biografi atau otobiografi). Secara skematik dapat digambarkan sbb.:

Sebagai  bernilai varian biografi dan atau otobiografi, pantun Irwan Prayitno juga mengungkap kepribadiannya. Keperibadian seorang tokoh secara umum dapat dilihat dalam latar belakang lingkungan sosio-kultural tokoh itu sendiri. Syair kronik dan syair peristiwa Irwan bagian pencerminan setting lingkungan sosialnya. Karenanya pantun Irwan ini bagian dari varian hidupnya sendiri yang langsung mengalami dan mencatat peristiwa kegiatan penting yang disambutnya dalam kapasitasnya sebagai Gubernur. Di antaranya lihatlah pantun Irwan merespon dan menyambut kegiatan “HUT Emas IAIN Imam Bonjol, 29 November 2016, sa’at-sa’at akan diresmikan menjadi UIN Imam Bonjol Padang, sbb.:

 

Makan di sawah nasi ramas

Sambalnya pedas sate urat

Hari ini ulang tahun emas

IAIN Imam Bonjol Sumatera Barat

 

Kini susah mencari delman

Niat hati membawa sobat

Di era Bapak Eka Putra Wirman

IAIN Imam Bonjol menjadi hebat

 

Kepala kejedot terasa benjol

Di bawa berjalan terasa berat

Dies Natalis ke-50 IAIN Imam Bonjol

Kepada IAIN kita ucapkan selamat

 

Irwan Prayitno Gubernur Sumatera Barat dengan pantunnya ini, mengakui sudah hebat. Ia berharap IAIN Imam Bonjol siap meningkat menjadi UIN Imam Bonjol. Tentu saja, harapannya ini bagian dari penghargaan terhadap lembaga perguruan tinggi ini basis pekerjaan orang tuanya, di mana masa kecil ia sering dibawa ke kampus Islam ini.  Bertemu dengan warga kampus, terutama teman ayahnya (Djamrul Djamal) dan ibunya (Sudarni Sayuti) keduanya yang mulia ini ialah dosen IAIN Imam Bonjol (sekarang UIN Imam Bonjol). Harapannya itu terkesan dalam pantun genre syair occasional Irwan berikut:

 

Mari berbenah di sana sini

Di hari H tak menjadi cemas

Minta IAIN jadi UIN saat ini

Menteri hadir jadi peluang emas

 

Pasar tumpah di bandar buat

Komunikasi intens selalu dirajut

Kedatangan bapak bisa memperkuat

IAIN ke UIN tentu akan terwujud

 

Tertulah harapan Irwan tidak hanya harapan pribadi. Juga bagian dari harapan dalam perjalanan hidupnya dengan kapasitasnya sebagai Gubernur Sumatera Barat, bahwa kampus basis kerja orang tuanya. Ia berharap IAIN Imam Bonjol ini menjadi UIN Imam Bonjol sebagai perguruan tinggi besar di Sumatera Barat khususnya dan bisa bersanding sejajar dengan perguruan tinggi besar lainnya di dunia. Dihargai menjadi yang excellent. Penghargaan ini sejalan pula dengan harapannya kepada semua kerabat kerja yang banyak membantunya menjadi besar pula dan mendapat pengakuan eksistensinya dan dibesarkan sebagai anak nagari di Minangkabau. Misalnya orang yang langsung membantunya sebagai wakil gubernur ialah Nasrul Abit (NA). Ketika NA ini diangkat dan dikukuhkan kaumnya suku panai di Air Haji, Pesisir Selatan menjadi pemangku adat gelar pusako “Datuk Malintang Panai”, 11 Februari 2017, ia menyambut dan mengucapkan selamat dengan pantun kroniknya sbb.:

 

Besar-besar si pohon sagu

Jangan ditebang pakai gergaji

Selamat kepada pak Nasrul Abit dan Ibu

Datuk Malintang Panai dari Air Haji

 

Tanam cabe tanamlah bibit

Supaya subur disiram pagi

Puaslah sudah kini Bapak Nasrul Abit

Jadi Rang Minang tak ada yang meragukan lagi

 

Irwan Prayitno sebagai pemangku adat “Dt. Rajo Bandaro Basa” payung dalam suku Tanjung, nagari Pauh IX Padang peduli adat. Menjadi perhatiannya revitalisasi nilai adat, penguatan lembaga adat, revitalisasi peranan pemangku adat, prosesi adat dan bangunan arsitektur rumah gadang dll. Fakta kepeduliannya kepada adat, sebagai Gubernur, ia mengangkat visi – misi pertamanya, adalah pelaksanaan ABS-SBK dengan indikator pembangunannya terpadu agama dan adat. Syair kronik dan syair peristiwanya tadi pada event pelewaan Wagub Nasrul Abit, mengisyaratkan pula, ia peduli adat dan peranan pemangku. Ia hadir pada event itu bagian dari kronik dan varian perjalanan hidupnya sebagai Gubernur dan pemangku adat. Ulama Minangkabau dahulu menyair, esensi syairnya juga sarat dengan varian hidup dan kehidupannya. Syair Syekh Sulaiman al-Rasuli misalnya, secara esensial juga memperlihatkan varian hidupnya dalam berbagai latar sosio kultural masyarakat pada masanya. Ulama ini mampu menyikat esensi hidup masyarakatnya  dan keadaan sosio kultural kampungnya di Candung yang kadang memuakkannya dan seperti tidak kuasa mengubahnya (Yulizal Yunus, 2009). Lihat baris-baris syair Enam Risalah Syekh Sulaiman al-Rasuli (1920:2) sbb.:

 

Duduk di Canduang tidaklah enak

Di kiri di kanan maksiat banyak

Mengikut suruh banyak nan tidak

Alamat badan kena tumpalak

 

Perasaian faqir sudahlah nyata

Faqir sebutkan sedikit saja

Karena banyak tidak terkira

Faqir menyebut tidak kuasa

 

Baris-baris Syekh Sulaiman al-Rasuli mencerminkan secara murni kehidupan masyarakat yang tetap memilih kampungnya Candung sebagai tempat “duduk” (Melayu: tempat tinggal). Tak dapat dipungkiri syair tadi merupakan cermin murni kehidupan masyarakat pendukungnya yang tercatat dalam varian hidupnya. Dalam masyarakat tradisi Arab, Thaha Husen (1933) juga menyebut sastra sebagai cermin kehidupan (al-mar’at al-shāfiyah li l-hayāh). Pendapat itu ia ungkap dalam sebuah artikel ilmiah dipublikasi Majallat al-Hilāl, Edisi Maret 1933, diterbitkan di Cicago – Amerika, topik “al-Hayāt al-Adabiyah fi Jazirat al-Arab”. Ungkapannya yang menyebut sastra cermin kehidupan Arab sbb.:

Al-adab…. hayyun qawiyun, lahu qaiyyimatuhu l-mumtaazah min haitsu innahu mir’atun shafiyatun lihayaati l-a’rab fi badiyatihim (sastra itu hudup dan kehidupan yang kuat, mempunyai nilai spesifik, dari aspek lain, ia cermin murni kehidupan sosial Arab di wilayah perkampungan mereka).

 

Justru itu, pandangan yang menyebut sastra sebagai al-mara’at al-shafiyah (cermin kehidupan), mengukuhkan sastra (syair) sebagai varian kehidupan sastrawan penyair itu sendiri. Varian kehidupannya itu bagian pula dari kehidupan masyarakat di mana penyair itu hidup. Pantun Irwan juga varian hidupnya pada masa jabatannya sebagai Gubernur. Syair Syekh Sulaiman al-Rasuli dalam dalam kumpulan “Enam Risalah” tadi, mengesankan kaya dengan rekam prilaku masyarakat, terutama fenomena di kampungnya pada masa itu mendapat tempat dalam varian hidup dan kehidupannya. Seperti gambaran fenomena ironis, di satu sisi masyarakatnya kuat adat dan Islam, di sisi lain prilaku tidak menggambarkan budaya dan prilaku beradat Minang dan Islam. Esensi kehidupan masyarakatnya itu menjadi esensi syairnya, sekaligus menjadi bagian varian perjalanan hidupnya pula. Perspektif pencatatan fenomena (peristiwa) masyarakat itu dicatat dalam syair, maka syair itu disebut occasional verse (syi’r al-munāsibāt, atau syair peristiwa). Syair peristiwa ini oleh penyairnya sengaja digubah untuk merekam peristiwa berbagai event penting atau acara kegiatan lainnya di dalam masyarakat, sekaligus menjadi varian kehidupan penyairnya. Lihatlah syair peristiwa Irwan Prayitno, merekam peristiwa “pisah sambut Gubernur Sumbar dari Donny (PJ. Gubernur Sumbar) kepada dirinya Irwan Prayitno sebagai varian sejarah hidupnya meresapi konten adat, menemukan teladan: “ambiak tuah ka nan manang” sbb.:

Jikok baralek pasanglah janur

Sempurnakan dengan permadani

Walau 6 bulan menjadi Gubernur

Ketokohan pak Donny kami teladani

 

Sebelum Irwan Prayitno, ada Taufiq Ismail di samping ulama dahalu yang punya banyak genre puisi peristiwa, posisinya amat signifikan dalam khazanah kesusasteraan Islam di Indonesia. Dari perspektif puisi peristiwa dengan elegi Taufiq kalau tidak melebihi, setara dengan rasa` (رثاء) penyair besar Arab seperti Prof. Dr. Adonis (lahir 1930) dewasa ini.

 

Al-Syi’r al-Ta’limiy

Syair peristiwa Irwan secara tematik juga berbentuk genre al-syi’r al-ta’limiy (puisi didkatik) pula. Pantun tentang serah terima jabatan Pj.Gubernur Donny kepada dirinya tadi, dari perspektif aliran sastra moralisme akhlaqiyah menaruh nilai pesan moral “ambiak contoh ka nan sudah, ambiak tuah ka nan manang”. Pesan moral itu setidaknya bentuk penghargaan kepada “nan sudah” dan “ka nan manang” yang patut jadi teladan. Juga madah (pujian) atas kinerja dan teladan yang ditinggalkan pendahulu (nan sudah): walau 6 bulan menjadi Gubernur/ ketokohan pak Donny kami teladani. Ada nilai didik, dan dapat menjadi pembelajaran bagi generasi yang student todya and leader tomorrow, bahwa bagaimanapun para pendahulu tak harus dilupakan. Justru pendahulu itu, ditiru keteladanan yang ada padanya. Keteladanan itu tidak hanya dilirik, tetapi dicontoh dan dilanjutkan performance process (kinerja bengkalai) yang baik. Selama ini justru dari perspektif politik kinerja bengkalai ini sering diabaikan setiap pertukaran pemimpin. Ini bagian pembelajaran pantun Irwan, menghagai dan meneladani apa yang patut dicontoh pada para pendahulu.

Dalam prkateknya, pekerjaan kinerja bengkalai pejabat lama yang besar sekalipun tidak dilanjutkan pejabat baru, ada rasa “gengsian” sehingga memulai lagi pada kilometer nol yang sangat tidak sustainable (berkelanjutan). Artinya pantun Irwan Prayitno ini mengisyaratkan komitmen dan penghargaan terhadap jasa pelaksanaan tupoksi, keteladanan dan kinerja tokoh pendahulu dan mesti dilanjutkan.

Ada pesan yang sarat nilai didik, pesan moral politik bagi kader pemimpin, dan memperlihatkan wawasan yang jauh ke depan. Karenanya wacana teks syair dan cara bersyair seperti Irwan Prayitno sarat ajaran dan pesan dan atau mengajarkan keteladanan di samping mengajarkan materi ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin. Justru ia dalam intens membaca kehidupan surau dulu, basis pembinaan SDM dalam bidang agama, adat budaya oleh ulama. Ia mengakui “SDM Minang unggul tapi perlu dikembangkan dengan pendidikan terpadu” (Irwan Prayitno, 2005:27). “Apresiasi dan aktualisasi SDM Minang bisa dimulai dari berbagai lembaga pendidikan, baik formal maupun in/nonformal sebagai tempat kaderisasi SDM” (Irwan Prayitno, 2013:166). Ulama dahulu mendidik termasuk di lembaga formal/ nonformal surau secara terpadu menggunakan wacana talk dan text syair. Irwan sekarang berpantun, jenis syair juga. Ada keberlanjutan kepiawaian ulama dahulu pada tradisi berpantun Irawan. Karena sarat materi ajar dan pesan dengan model pembelajaran integratif cara bersyair pragment, maka syair pantunnya dapat disebut genre al-syi’r al-ta’limiy (syair didaktik). Jenis syair didaktik mengikuti Dr. Emil Ya’qub (1987) dalam bukunya al-Isthilahat al-Adabiyah (Istilah Sastra), sengaja digubah untuk mengajarkan nilai dan ilmu pengetahuan. Ia memberi contoh syair didaktik terbaik berjenis syair majelis (nadwat, society verse) menyebut nama-nama tokoh termasuk nama penyair sendiri, yakni buku syair “Matan Alfiyah” karya Ibnu Malik. Syair ini mengajarkan ilmu nahwu (nahwiyah, sintaksis Arab) lengkap seluruh aspek secara ringkas. Dalam syair pengantarnya, seperti pantun spontan – syair Irwan Prayitno, tak lupa menyulam nama tokoh, dimulai namanya sendiri, lihatlah baris-baris syair didaktik Ibnu Malik (dalam Yulizal Yunus, 2010) sbb.:

 

Qala Muhammad huwa ibnu Malik

Ahmadu rabbi Allah khaira Malik

Mushaliya’ala l-Nabiyi l-mushthafa

Wa ilaihi l-mustakmilina l-syarafa

 

Wasta’in Allah fi Alfiyah

Maqashidu l-Nahwi biha mahwiyah

Tuqarribu l-Aqsha bilafzhi mujaz

Wa tabsuthu l-banla biwa’di munjaz

 

(berkata Muhammad ibnu Malik

Ku puji Tuhanku Allah Maha Pemilik

Bersalawat pada Nabi Pilihan

Dan keluarganya yang mencapai kemuliaan

 

Minta tolong Allah untuk buku Alfiyah

Mencakup seluruh materi Nahwiyah

Sajian luas dengan baris-baris ringkas

Penjelasan detail dijanjikan puas)

 

Meski mengajarkan pengetahuan, namun stilistika syair didaktik, tetap menarik dengan barisnya empat-empat, seperti jenis ruba’i (empat-empat baris), menghitung suku kata untuk kepentingan taf’ilah (pot), bahar (nada jeda) dan ditambah dengan kekuatan bunyi akhir (qafiyah, rima) bersajak aa aa dan atau ab ab. Contoh syair didaktik lain banyak ditulis ulama Minang masa pujangga lama, di antaranya syair Dr. Abdullah Ahmad pendiri PGAI dan Adabia Padang dalam kumpulan syair “Paroekoenan” (dalam Yulizal Yunus, 2010), lihat baris-barisnya pada bagian “rukun 13 shalat” berkaitan takbiratulihram dengan niat shalat, berikut ini:

 

Rukun pertama niat namanya

Sengaja di hati itu maknanya

Ferdhu sembahyang dalam ingatnya

Tentukan waktu apa namanya

Waktu niat sedang melakat

Sengaja fardhu sedang shalat

Takbiratulihram lekaslah ikat

Takbir berdiri pula sepakat

 

Syair Society Verse: Gong Istana Pemajuan Kebudayaan

Syair-syair yang memberi gugahan masyarakat, terdapat banyak jenis. Syair didaktik tidak saja memberi gugahan tetapi menawarkan nilai dan materi ajar seperti syair Dr. Abdullah Ahmad tadi mengajarkan perukunan “rukun 13 shalat”.  Beda lagi dengan syair genre syair society verse (nadawat, puisi seminar, puisi majlis), digubah khusus untuk kelompok kumunitas tertentu, pasnya disajikan dalam sebuah majlis untuk sharing berfikir. Majelis dimaksud adalah kerapatan/ pertemuan/ majelis sastra dan atau khusus untuk acara-acara terhormat para penyair dan kelompok masyarakat tertentu. Intinya di samping memberi gugahan dan motovasi juga memberikan spirit kehadiran pada sebuah perkumpulan. Pantun spontan Irwan Prayitno pada genre lain ada menunjukkan syair society verse. Di antaranya lihat pantun – syair nadawat Irwan Prayitno dalam event “Diskusi Budaya Nan Jombang Ery Mefri,31 Mei 2016” dengan baris-barisnya sbb:

 

Kembangkan seni jangan lupakan adat

Hadir diskusi di tempat Ery Mefri

Kalau salam tak dijawab semangat

Kita ulangi sekali lagi

 

Forum editor sangat terkenal

Moderatornya bernama Khairul Jasmi

Wartawan Senior yang menggelobal

Setiap kesempatan baca puisi

 

Gubernur bersama anggota dewan

Tampil di ladang nan jombang

Diberi apresiasi oleh pak Darman

Semoga kesenian maju di masa datang

 

Tersebut kembali Dewan Kesenian

RKT pun jadi perhatian

Bahkan banyak beri saran

Tak luput pula usul kadis kebudayaan

 

Ada penghargaan Irwan Prayitno kepada sejumlah tokoh dalam majelis seperti Ery Mefri dari pimpinan Nan Jombang, Khairul Jasmi Pemred Skh. Singgalang wartawan senior yang disebutnya menggelobal dan Ketua Forum Editor (Massmedia), Darman Moenir sastrawan budayawan senior, Kadis Kebudayaan Taufik Efendi, dll., adalah merupakan pembuka kontak komunikasi yang tidak akan lepas dengan peserta majelis dan memberi spirit agar acara semarak dan sarat visi ke depan pemajuan kebudayaan seperti amanat UU 5/ 2017 tentang pemajuan kebudayaan. Terlebih ajakan Gubernur dan Dewan/ Legislatif (pemerintahan Sumatera Barat) mengandung tasyji’ khalifah (gong istana) memulai pemajuan kebudayaan: di antaranya keterpaduan Islam dan adat yang menjadi visi misi Gubernur. Juga sastra, puisi, kesenian termasuk lembaga seni di tingkat Sumatera Barat seperti Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB) yang sudah lama mati suri dan sudah dibentuk tim-9 dan tim-14 yang saya satu di antaranya sudah juga tidak mampu membangunkan “mati suri” dan menyelamatkan kematian DKSB itu dan akhirnya mati juga. Makna yang terdalam, memajukan kebudayaan di Sumatera Barat: aspek sistem sosial (adat) dan aspek sistem kesenian (wujud suara/ sastra, wujud gerak/ tari dan pertunjukan serta wujud rupa/ lukis, pahat dan arsitektur), Iwan seperti telah memukul gong dan telah dibunyikannya dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Sumatera Barat, tinggal lagi bagaimana gong-gong kabupaten/ kota se Sumatera Barat menyahutinya dengan memajukan pemangku dan lembaga serta akitivitas kebudayaan (adat dan seni) di wilayah setempat.

Tidak saja gong, bahkan Gubernur Irwan, sudah membuat contoh tradisi bepantun, mengembalikan kebesaran Islam dan sastra melayu Islam. Ia menyambung tradisi maestro ulama Minangkabau menyair pelopor syair sufistik yang antropomorfik, marak sejak pujangga lama dan menjadi mahakarya ABS-SBK. Melihat masa kejayaan ulama Minang menyair itu, boleh diteorikan, “tiada ulama tanpa menyair”. Kebiasaan berpantun genre syair ini, sebenarnya sudah ditunjukan bangsa pemilik bahasa yang terkaya di dunia yakni Arab sejak masa klasik. Arab masa klasik itu, dalam memajukan kehidupan sastra, muncul ungkapan al-syair min thabi’iti l-Arab (syair itu adalah kebiasaan lidah Arab). Orasi/ pidato mereka disebut khatabah pada masa Arab klasik stilistikanya persis seperti syair, mempunyai rima dan bersajak aa aa, sebagai bagian musikal puisi dan lisensi puitik syair. Karenanya para ahli pidato Arab pada masa klasik itu mendapat peringkat derajat tinggi dalam berbagai event festival pasar seni seperti Dzul Majas, Pasar Ukaz dsb. Mereka menghargai penyair yang berprestasi, sebagaimana layaknya para penyair yang amat dihargai ketika itu. Justru sampai pada masa Nabi SAW menghargai syair, dalam hadis disebut inna min syi’ri lahikmah (tak dimungkiri sebagian syair itu kaya dengan hikmah).

Masyarakat Arab masa klasik membuat tradisi mengadakan majelis (nadawah, temu penyair di pasar seni, seminar, festival seni sastra) sebagai sarana untuk mendeklamasikan pantun (syair, sajak) mereka. Mereka bertanding pidato yang baris-baris pidatonya adalah gaya syair. Pada event itu mereka mengambil kesempatan di pasar seni seperti Dzul Majaz dan Sauq al-Ukaz (Pasar Seni Ukaz) sejenis “Padang Fair” sekarang. Pada pasar seni ini mereka menggelar pameran budaya, pameran produk-produk dagang, bahkan menjadi ajang penyebaran agama, ajang politik kepentingan. Juga mereka saling tukar menukar informasi dan berita masing-masing tentang masyarakat sukunya serta perkumpulan majelis (nadawat/ majelis seminar, nadi/ group sastra penyair). Juga termasuk tukar menukar info perkumpulan sastra Nadi Quraisy (Group Quraisy) dan Darun Nadwah (Rumah Seminar, Convention Hall) dll., yang berbasis di sekitar Ka’bah.

Arab masa klasik tadi mengadakan berbagai festival sastra memperdengarkan baca syair-syair yang mereka gubah, di pasar-pasar seni. Mereka menulis dan baca syair seperti di pasar seni Majinnah, DZul Majaz di samping pasa seni terbesar Sauq al-Ukaz  di al-Atsdia (antara Mekah dan Thaif) tadi. Sauq al-Ukaz bukan sekedar pasar seni biasa, tetapi sudah merupakan pekan budaya besar, yang mempersiapan kalender berbagai kegiatan seni dan pertunjukan berperiodik seperti satu malam di Thaif dan tiga malam di Mekah, bahkan juga punya kalender mingguan, bulanan dan tahunan seperti disebut dalam Aswaq al-Arab fi al-Jahiliyati wa al-Islam/ Pasar Seni Arab masa klasik dan Islam (Said bin Muhammad al-Afghani, tt: 286-289). Di pasar seni itu mereka berlomba pidato gaya syair dan bersyair memperlihatkan kekuatan syair pada lisan mereka, justru melebihi tulisan.

Syair di mana pun justru menaruh lisensi puitik bahkan magic seperti mantra. Disuasanakan musikal (rima/ nada dan irama) untai baris-baris puitik. Syair mereka yuhadhid sami’ wa qari’ (membuai dan membuat penikmat terempati). Seperti juga baris-baris puitik Irwan Prayitno, dalam pantun spontannya memberikan pesona dan bahkan memicu tawa gembira, di samping menunjukan proses pikir lancar dan cerdas santun dalam bahasa pantun yang mengalir. Karenanya bahasa mengalir menunjukkan proses pikir lancar dan cerdas, mengukuhkan derjat manusia sebagai makhluk nathiq (bicara cerdas). Bahasa mengalir itu dalam perspektif manthiq (ilmu logika) yang dalam praktek fenomena masyarakat dialogis disebut mintiq dalam bahasa Minang: mantiak. Di lisannya, mengalir kata puitik yang sarat filosofi (nilai filsafat). Minang justru istana kata. Budaya orangnya, pandai berpantun spontan menunjukkan cerdas (Mak Katik, 2017). Bahasa lincah itu berakar pada budaya (prilaku), sebut Taufik Ismail (2017) pada buku Irwan “Pantun Spontan al Irwan Prayitno”.

Bahasa lincah, bersih dan santun dalam perjuangan, tanpa tersandung konflik dan kondisi dan usia, ditunjukan ulama penyair. Di antaranya ulama penyair Syekh Muhammad Taher Jalaluddin al-Falaki al Azhari (adik sepupu imam besar Masjd al-Haram, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi) ayahanda Prof. Tun Tan Sri Hamdan, Gubernur Pulau Pinang, Malaysia, katanya adalah ”berakar dari spirit Islam, diilhami Yang Maha Bersih dan Maha Indah”. Karenanya berkatalah yang pasih sebagai ciri umat Islam yang bersih bersumber dari Yang Maha Kasih. Ulama penyair Syekh Muhammad Tahir Jalaluddin al-Falaki al-Azhari, dalam baris syairnya sbb.:

 

Kiranya kamu wahai kekasih

Kaum berugama Islam yang bersih

Membawa beberpa perkataan yang fasih

Belum ada bahasamu masih

 

(Syair Renungan/ Tahir Jalaluddin,

SP10/109, Arkip Negara Malaysia)

 

Bahasa fasih (lancar) dan bersih santun, bagian motivasi perjuangan. Bahasa santun ini merupakan senjata perjuangan bagi ulama menegakkan dakwah Islam, dan senjata ulama pejuang membebaskan umat dari semua bentuk keterjajahan. Tuanku Imam Bonjol sebagai ulama pejuang juga menyair (Dada Meuraxa, 1974:411). Pesan syairnya dengan bahasa santun menyalakan semangat “nafsu” juang yang tidak dihentikan kekuatan yang tertekan dan kondisi yang tak menguntungkan. Lihat syairnya sbb.:

 

Perjuangan hidup selalu bertumpuk

Kekuatan menjadi lapuk

Punggung lurus menjadi bungkuk

Tapi nafsu tak mau tunduk

 

Bahasa santun sebagai energi menyalakan “nafsu” juang, dipakai para ulama pejuang. Karenanya, sebuah ajakan berbahasa dan berkata jernih, cerdas, indah dan santun, pantas direspon, meski dalam keadaan sekonflik apapun. Kata santun melahirkan pikiran jernih, kata marah menghilangkan keseimbangan. Kata orang Minang menyebar kearifan, berbahasa dan bersikap baik tah harus marah melihat sikap dan mendengar bahasa marah. Harimau dalam perut/ kambing dikeluarkan. Nilai ini pastilah berakar dari penggalan amanat firman Allah SWT, misalnya: idfa’ billati hiya ahsan al-saiyi’ah (tolaklah kejahatan dengan kebaikan). Pertemuan dua nilai adat dan syara’ sumber Kitabullah ini, membuktikan orang Minang kuat memegang filosofinya Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS – SBK), dioperasionalkan dengan strategi Syara’ Mangato – Adat Mamakai (SM-AM) dan ATJG (Alam Takambang Jadi Guru). Karenanya syair lama para ulama dulu, rata-rata jernih, mengajarkan Islam dengan cara bersyair, bahasa yang mengalir bersajak mengantarkan ilmu, cerita dan sejarah, seperti dalam al-Barzanji penyair Maulud Nabi dari Arab.

Justru Arab klasik dengan group sastranya memperlombakan bicara mengalir dan bijak ( mintiq, mantiak dalam bahasa Minang) serta sarat lisensi puitik. Kompetisi bicara mengalir itu dalam bentuk pidato gaya syair dan bersyair. Dari sinilah lahir syair-syair agung. Syair agung itu dihargai tidak saja dengan materil yang baris dan kerta menuliskannya ditimbang dihargai dengan timbangan emas. Bahkan puisi terbaik atau puisi agung mereka itu dihargai. Pengahargaan itu tidak saja dengan emas dan uang dirham, juga dihargai, setiap puisi terpilih dihargai dengan menggantungkannya di dinding Ka’bah. Syair yang terpilih dan digantungkan di Ka’bah itu, disebut dengan syi’r al-mu’allaqat (syair yang dipajang di dinding Ka’bah). Tersebut 7 penyair besar mu’llaqat (yang syair mereka digantungkan di dinding Ka’bah) itu ialah: (1) Umru l-Qais (Yaman), (2) Tharafah bin Abdul Bakri, (3) Zuhair bin Abi Sulma, (4) Antarah bin Syaddad, (5) Lubaid bin Rabi’ah al-Amiriy, (6) Amr bin Kultsum dan (7) Harist bin Hillizah (lihat, al-Zauzaniy,tt). Disebut juga 3 nama penyair mu’allaqat besar lainnya menjadi 10 pilihan penyair agung yakni: (1) Nabaghah, (2) A’sya dan (3) Ubaid bin al-Abrash. Sebagai contoh lihat baris-baris syair agung Lubaid bin Rabi’ah al-Amiriy sbb.:

 

Idza iltaqat al-majami’u lam yazal(a)

Minna lizaru ‘azhimatin jasysyamuha

Wa muqasysyimun yu’thi l-‘asyirata haqqaha

Wa mu’dzamirun lihuquqiha hadhdhamuha

 

(Bila para kabilah berkumpul, kaumku tak kalah

Merespon debat memecahkan masalah

Adil membagi bagian hak keluarga

santun kepada semua meski terambil haknya)

 

Terinspirasi atau tidak, historika pasar seni Sauq ‘Ukaz Arab yang melahirkan syi’r mu’allaqat dari pasar seni Arab masa klasik tadi, tradisi bersastra syair dan pantun sudah dibawa ke pasar seni perlombaan dalam berbagai event. Ada lomba menulis dan baca puisi, event itu sudah menjadi tradisi budaya dan sastra hampir di penjuru dunia. Di Sumatera Barat “Pantun Spontan al Irwan Prayitno” sudah masuk ke event perlombaan membaca dan menulis pantun serupa. Gerakan ini didukung para sastrawan, melaksanakan lomba baca pantun itu dan sudah berulang. Ada keyakinan, segera lahir para “shahib rau’ah wa jamal” (pemilik lisensi puitik dan pemilik keindahan) dalam piawai berpantun seperti Irwan piawai berpantun, sudah tak asing lagi. Terakhir yang mempesona, dengarlah syair – pantun Irwan tentang pragment lara Palestina dan sudah di-youtube-kan. Adalah Pantun Spontan ala Irwan Prayitno dalam Konser Amal untuk Palestina, pada “Panggung Padang Fair” di GOR Agus Salim Padang, 1 Mei 2017. Betapa dengan deklamasi pragment haru dalam suasana rintik, ia mendeklamasikan syair tentang penindasan Israel atas rakyat Palestina. Pantunnya sungguh menggambarkan bagaimana laku buruk Israel sebagai bangsa mempertontonkan kezalimannya kepada dunia, seperti menggarisbawahi betapa kejamnya Israel, jangankan memusuhi Islam, para nabi di kalangannya sendiri dibunuh dan digergajinya. Terakhir dunia buncah seperti mau memicu perang dunia ke-3 setelah Israel mancaplok Yerusalem ibu Kota Pelestina mau menjadikan ibu kotanya setelah mendapat legitmasi sepihak Trump sang presiden AS yang aneh itu, negara besar sumber demokrasi itu justru menciderai demokrasi dunia. Lihat baris-baris Irwan tentang Palestina yang terluka dari jalur Gaza sbb.:

 

Suara pekikan hingar bingar

Suara anak-anak tak berdosa

Sudah lama kita mendengar

Penindasan terjadi di jalur Gaza

 

Tentara menembak begitu tega

Dengan senapan dan tank baja

Keberadaan nyawa tak lagi berharga

Perempuan dan anak-anak sama saja

 

Pantun MURI dan Ujaran Santun, Teladan Anak Muda

 

Kepiawaian Irwan Prayitno berpantun spontan begini, menandinglanjutkan gaya syair masa pujangga lama ini ditularkan dan direspon. Mulai dari tradisi lomba menulis dan baca pantun anak sekolah sampai tradisi pejabat utama berpantun syair. Seperti gambaran sejarah, pemajuan sastra dimulai dari gong dibunyikan khalifah. Syair dinilai dan dihargai khalifah dengan dirham untuk baris per-baris dan untuk per-berat kilo gram kertas tempat menuliskan syair itu. Seperti khalifah Muawiyah (743-744) al-Walid II menguji hafalan dan keindahan bacaan syair seorang rapsodis (al-rawiyah, periwayat) ulung bernama Hammad al-Rawiyah (wafat 771 M) yang hafal semua puisi agung 7 penyair al-mu’allaqat (puisi maestro yang digantungkan di Ka’bah) dan puisi-puisi pra Islam lainnya. Saking tertariknya khalifah kepada Hammad, yang mulia memberi hadiah 100.000 dirham. Hadiah seharga yang sama diberikan pula masa khalifah berikutnya (724-743 M) Hisyam ibn Abdu l-Malik. Lomba pantun Minang di Sumatera Barat ini seperti belajar dari sejarah, mulai bersimpongan. Tentu pula tidak ketinggalan hadiah dari Gubernur Irwan Prayitno. Ia sendiri yang piawai berpantun spontan sudah menginspirasi mengingat sejarah sastra dunia. Karena pantunnya pantas dikumpul dan diterbitkan, lalu dihargai. Adalah pantas ia diberi penghargaan seperti Piagam MURI dalam ketegori cipta pantun spontan jumlah terbanyak sebagai maha karya maestro sekaligus menerima Hak Cipta Intelektual Karya Pantun Spontan ala Irwan Prayitno dari Kemenkumham, 20 Agustus 2017.

Mestilah kepiawaian Irwan Prayitno berpantun ini penting dibudayakan pada generasi muda, piawai menulis dan baca pantun dan berkarakter santun ke depan, misalnya melalui kegiatan penggelaran Festival Pantun “Lomba Pantun Spontan” untuk tingkat SLTA se Sumbar. Pernah digelar 9.000 pantun yang masuk, diikuti 817 peserta menulis dan membaca pantun pada Festival Pantun Spontan ala Irwan Prayitno dikomandoi Ade Hendri dengan para juri dari para sastrwan Sumatera Barat itu. Peserta dimulai dari mengirimkan pantun terbaik karya sendiri sampai dilombakan, di Tugu Perdamaian Padang Agustus tahun lalu. Awal tahun 2018 dipasilitasi Disbud Sumbar, dilaksanakan lagi lomba serupa. Pesertanya diperluas, tidak saja anak sekolah tingkat SMA se Sumbar, juga diikuti wartawan se Indonesia, justru mengambil momentum Hari Pers Nasional 2018 (HPN-2018). Mereka diseleksi sejak awal Desember 2017 sampai awal Januari 2018, dinilai dan dipilih pada event pentas HPN – 2018 di Muaro Lasak Padang, awal Februari 2018.

Voice point, Festival Pantun Spontan diinspirasi Pantun Spontan ala Irwan Prayitno ini, harapan terbesar lahir para muda Minangkabau“shahib rau’ah wa jamal” (pemilik lisensi puitik dan pemilik keindahan) dalam piawai berpantun dan berkata santun. Juga menginspirasi mengingat kembali sejarah kegemilangan Islam warisan sejarah pasar seni mirip Padang Fair, yang pernah dikenal luar biasa seperti pasar seni Sauq al-Ukaz, Majinnah dan Dzul Majaz masa Arab klasik dan masa kejayaan Arab Islam. Di pasar seni itu ditampilkan kebolehan orator berorasi dan berpidato gaya bersyair dan dihargai sama dengan derjat penyair, juga penyair membaca syair-syairnya dan mereka dipilih dan terpilih 10 penyair agung yang rewardnya, syair mereka itu dipajang di dinding Ka’bah disebut dengan syi’r al-Mu’allaqat (syair pajangan dinding Ka’bah). Di negeri ABS – SBK ini lahir dan dihargai Pantun Spontan ala Prayitno, mengingatkan kita pula kepada ulama Minangkabau menyair, syair syi’ar, menyair menjadi ulama, seolah tiada ulama tanpa menyair di Minangkabau menonjol era pujangga lama. Justru disadari atau tidak Irwan Prayitno lahir melanjutkan tradisi ulama menyair, bagian keagungan karya maestro intelektual ulama dan pemimpin di Sumatera Barat dalam subkultur Minangkabau ini.***

 

Rujukan

Al-Zauzaniy, Syarh al-Mu’allaqat al-Syab’i l-Thiwāl. Libanon: Syi’rkah Dar l-Arqam bin Abi l-Arqam, tt.

Braginsky, V.I., Yang Indah, Berfaedah dan Kamal, Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS, 1998

Dada, Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Sumatera. Jakarta: Firma Hasmar, 1974

Emil Ya’qub, Dr., dkk, Qamus al-Mushthalahat al-Lughawiyah wa l-Adabiyah, Arabiy – Injliziy – Faransiy. Bairut: Dar l-Ilmi li l-Malayiin, 1987

Hendri Hassan, S.Ds, pengantar, Irwan Prayitno di Mata Awak (Media Cetak), Posmetro, Singgalang, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Metro Andalas, Haluan, Republika dan Kompas. Padang: PT.Aryajaya Pradhana, 2015.

Irwan Prayitno, Pantun Spontan ala Irwan Prayitno, Antologi cet.I. Jilis 1,2, 3,4. Padang: CV.K. Abdi Nusa, 2017.

___________, Inspirasi untuk Negeri. Padang: tp, 2013.

___________ Prof., Dr., Psi.MSc Datuak Rajo Bandaro Basa, Kiprah Seorang Asli Putra Minang, Mambangkik Batang Tarandam, Reaktualisasi dan Aktualisasi Potensi Minang, Saatnya Kita Berubah Maju Bersama Rakyat dan Nagari, Restrukturisasi dan Revitalisasi Pengelola Daerah. Padang: tp,  2005

____________, Sang Datuak. Padang: tp, 2005

Panuti Sudjiman,ed, Kamus Istilah Sastra, Jakarta, Gramedia,1986.

Muhammad Quthub, Manhaj al-Fanni l-Islamiy. Bairut: Dar al-Syuruuq, 1973

Rusli Marzuki Saria, Mangkutak di Negeri Prosaliris, Kumpulan Puisi. Jakarta: PT. GramediaWidiasarana Indonesia. Jakarta, 2010

Syafruddin Nurdin dan Adriantoni, Kurikulum dan Pembelajaran, cet. II. Jakarta: Rajawali Pres, 2016

Syekh Muhammad Dalil bin Muhammaf Fatawi, Majmu’ wa Musta’mal dan Kitab Miftah al-Haq, cet.11. Bukittinggi: HMS Sulaiman,  1326 H

Syekh Muhammad Ali bin Abd al-Muthalib, Burhan al-Haq, Raddun ‘ala Tsamaniyat al-Masa’il, al-Jawabu min Su’al al-Sa’il al-Qathi’at al-Waqi’ah Ghayat al-Taqriib. Padang: Foolyoumer, 1918

Syekh Sulai al-Rasuliy, Risalah (yang Mengandung 6 Risalah Syair dan Cerita Islam). Sungai Puar: H.Ahmad Khalidiy, 1325 H

Yongki Salmeno, ed., Irwan Prayitno untuk Sumbar Bangkit. Padang: PT.Grafika Jaya Sumbar, 2015

__________________, Inspirasi untuk Negeri Irwan Prayitno, cet. II. Padang: PT.Grafika Jaya Sumbar, 2014

__________________,

Yulizal, Yunus, Perspektif Islam Melayu, Kajian Sastra Ulama Minangkabau, Makalah untuk Adia-2017, Makalah the 2nd Annual International Symposium on Islam and Humanities (Islam and Malay Local Wisdom). Palembang: FD-ADIA, 2017.

___________, Kesultanan Pagruyung, Jejak Islam pada Kerajaan-Kerajaan Dharmasraya. Jakarta: Puslitbang Lektur, 2016.

___________, Minangkabau, Social Movement. Padang: Imam Bonjol Press, 2015.

____________, Konsep dan Perubahan dalam Seni Tradisional Minangkabau, Makalah Seminar UPTD Taman Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat, di Galeri Seni Rupa, Senen, 1 April 2013. Padang: TBP, 2013

____________, Islam Pantai di Gerbang Selatan Sumatera Barat: Padang: Imam Bonjol Press, 2012.

____________, Nilai Konseling Ulama Klasik  Janan Thaib terhadap Umat, Kertas Kerja Seminar Serantau Kitab Turath 27-28 Oktober 2010, Pembina Serta Perkembangan Tradisi Ilmu di Alam Melayu, Pemeliharaan Kitab Turath sebagai Nilai Khazanah Umat Islam, Prosiding h. 96-108, Seri Begawan Brunei: KUPU, 2010

___________, Aspek Pendidikan Islam dalam Sastra Ulama Minangkabau, Studi Syair Syekh Sulaiman al-Rasuli, draft awal Disertasi.Padang: PPs. IAIN Imam Bonjol, 2010.

____________, Himpunan Cerita Rakyat Sumatera Barat, Ibu yang Menyusukan Anaknya di Bulan. Padang: Disbudpar Pemrov Sumbar, 2010

____________, Beberapa Ulama di Sumatera Barat. Padang: Museum Adityawarman, 2008

____________, Al-Qashash Al-Islamiyah fi Tatsqifi Syakhshiyat Al-Athfal, Dirasat fi Al-Adab wa l-Tarbiyah. Padang: IAIN-IB Press, 2003

____________, Kesultanan Indrapura dan Mandeh Rubiyah di Lunang, Spirit Sejarah dari Kerjaan Bahari hingga Semangat Melayu Dunia. Padang: IAIN-IB Press dan Pemkab Pessel, 2002.

____________, Persepsi Masyarakat Sumatera Barat Terhadap Kematian Kanak-kanak (Analisa Pengaruh Nazam Kanak-Kanak Sebagai Upaya Menjernihkan Paham Keliru Menuju Jalan ke Sorga), Laporan Penelitian 1998/ 1999. Padang: Puslit IAIN-IB, 1999.

____________, Sastra Islam di Indonesia, Kajian Syair Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandi Syekh Bayang: Padang, IAIN-IB Press, 1999.

____________, Pewarisan Sikap Profetik, Artikel al-Turas. Padang: IAIN IB Press, 1991.

____________, Pewarisan Nafas Islam dalam Budaya, Artikel Al-Turas. Padang IAIN IB, Press 1991.

___________, Perkembangan Mutakhir Penulisan Puisi, Piksi Dan Naskah Drama Karya Sastra Sastrawan Muda Daerah, Makalah Temu Kritikus Sastra Muda Se Sumatera. Padang: TBP, 1989.

___________, ed. Study on Work of Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Tokyo: Toyota Foundation, 1988.

van Ronkel, Supplement to the catalogues of Arabic Manuscripts Preserved in the Museum of the Batavia Society of Arts and Sciences. Batavia: Bruning et Wijt, 1913

[1]Yulizal Yunus, Pengajar Sastra di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Imam Bonjol Padang. Tulisan ini semula disediakan khusus untuk edisi khusus Majalah Shaut al-Jami’ah, edisi Desember 2017 sekaligus sebagai Kado HUTlah ke-57 Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat, 20 Desember 1960 – 2017. Di-rewrite (edit tulis ulang) untuk makalah Seminar Internasional Kerjasama dua Perguruan Tinggi: FAH UIN Imam Bonjol Padang dan UPM Malaysia, 18 Januari 2018.

[2]Syafruddin Nurdin dan Adriantoni, Kurikulum dan Pembelajaran, cet. II, (Jakarta: Rajawali Pres, 2016), h.315

Taufik Ismail, Sastrawan

BERSASTRA BUKAN HANYA KERJA SASTRAWAN

Gubernur (Sumatera Barat) Irwan Prayitno mematahkan anggapan kuno bahwa bersastra, khususnya berpantun-pantun hanya dilakukan sastrawan seperti Chairil Anwar, Mak Katik, Wisran Hadi, Emha Ainun Nadjib, Rusli Marzuki Saria dan seterusnya itu.

Ekspresi pantun Irwan Prayitno tidak kaku, bebas lincah tapi patuh kaidah, dari bahasa Indonesia melompat ke bahasa Minang bolak-balik tanpa halangan. Dia sangat dan terpaksa produktif karena sebagai Gubernur yang selalu tampil di depan publik dan memberikan sambutan-sambutan, digunakannya pantun sebagai medium komunikasinya. Dan ternyata mendapat respons yang menggembirakan.

 

Ndak ado galeh ambiaklah cawan

Latakkan di mangkuak goreng bakwan

Hadir Budayawan sarato Wartawan

Tandonyo Gubernur banyak kawan

 

Dalam beragam acara (Batagak Gala, reuni SMP, sidang paripurna DPRD, pesantren Ramadhan, pernikahan kemenakan, Hari Air Dunia dan seterusnya dan seterusnya), pantun dibacakan di awal pertemuan, pertengahan,  hingga selesai acara yang membuat situasi jadi Gembira

 

Enak didengar pembacaan syair

Pantun dibaca mahasiswa Unair

Anak dididik menggambar air

Biar tahu pentingnya air.

 

Sebagai sastrawan yang banyak mengeluh tentang betapa tertinggalnya pendidikan sastra di sekolah sehingga manifestasi sastra di masyarakat rendah, dengan kenyataan bahwa ada Gubernur yang ekspresif dengan pantun, saya merasa luar biasa gembira dengan kekecualian ini.

 

Jika anak berjiwa seni

Bakatnya datang tidak menjelma

Pendidikan dimulai Sejak Dini

Orangtua dan guru harus seirama.

 

Saya berharap buku berseri “Pantun Spontan ala Irwan Prayitno” ini dibacakan di depan siswa-siswa di kelas oleh guru bahasa dan sastra SMP dan SMA Sumatera Barat, kemudian juga dibaca oleh siswa-siswa itu. Begitu pula di perguruan tinggi, sehingga pastilah akan ditiru secara kreatif oleh mereka sebagai bentuk komunikasi yang mengasyikkan. Saya mengucapkan terima kasih dan selamat kepada Adinda Gubernur Irwan Prayitno atas terbitnya buku pantun berseri “Pantun Spontan” yang unik ini, sebagai tambahan terhadap 36 buku pendidikan yang sudah ditulisnya. Semoga jerih payah ini bermanfaat bagai peningkatan literasi generasi muda kita dan menjadi bentuk ibadah yang diridhaiNya. Amin.

 

Taufiq Ismail

Jakarta, 27 Januari 2017.

 

Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto Mak Katik, Pelaku seni tradisi

SPONTAN PENGANTAR MAK KATIK

 

Ka Tuhan tangan ditadahkan

Samo kito mintak ka Ilahi

Bakaua bakeh ka nan Kuaso

Jan lapuak budaya dalam lipatan

Jaweklah warih kini-kini

Tabanam apo ka gunonyo

 

Dalam tradisi lisan masyarakat Minangkabau, pantun menempati kedudukan penting. Seluruh peristiwa komunikasi diwarnai oleh kehadiran pantun. Tanpa pantun, komunikasi tidaklah lengkap. Petuah, warisan norma, dan pesan disampaikan melalui pantun. Tidak hanya dengan penyampaian melalui pembicaraan, pantun juga disampaikan dalam bentuk seni pertunjukan.

 

Dalam dialog, pidato atau komunikasi lainnya, pantun disampaikan dengan irama tertentu yang menarik. Irama penyampaian ia kemudian berkembang sehingga penyampaian pantun menjadi indah dan enak terdengar dan berkembang menjadi seni tersendiri. Dalam dialog atau syair yang didendangkan dalam seni pertunjukan tradisi Minangkabau, pantun menjadi sangat dominan, sebutlah misalnya randai, dendang saluang, rabab, salawaik dulang, basijobang, tupai janjang, atau bakaba.

 

Melihat kepentingan dan posisi penyampaiannya, kita mengenal beberapa pengelompokan pantun, antara lain pantun adat, pantun nasehat, pantun muda, pantun humor dan lainnya. Pada pantun Minangkabau asli, ada beberapa ciri khas: Satu baris biasanya terdiri dari 8 – 10 suku kata, idealnya 9 suku kata. Pantun 4 baris mengandung rima bunyi. Istimewanya, pada pantun Minangkabau lama, sampiran dan isi mempunyai keterkaitan yang erat, lebih dari sekedar persamaan rima bunyi. Malah ada pantun yang antara sampiran dan isi tidak bisa dipisahkan lagi, ini dikenal sebagai pantun bidarai. Pada masa yang lebih kemudian, pembuatan pantun, apalagi pantun yang spontan,  penyamaan rima bunyi sampiran dan isi menjadi hal yang lebih dahulu dipentingkan. Masyarakat tradisi menamakannya sebagai ‘hadis melayu’

 

Membaca buku pantun berseri “Pantun Spontan ala Irwan Prayitno” sangat menyenangkan hati. Walaupun pantun beliau tidak sepenuhnya memakai bahasa Minang, malah kadangkala juga memakai kata asing, yang paling penting adalah bahwa beliau sudah memelihara khasanah sastra lisan orang Minangkabau. Selain akhirnya ini menjadi ciri khas, pemakaian pantun dalam hampir setiap pidato beliau telah memperlihatkan identitas dan akar budayanya. Pantun telah ikut menandai kehadirannya sebagai seorang pemimpin formal, sebagai seorang datuk, atau sebagai seorang guru besar.

 

“Kain dipakai usang, adaik dipakai baru”

 

Dalam konteks hari ini, Pantun Spontan yang dilakukan Pak Irwan Prayitno dalam pidato dan komunikasi yang beliau lakukan dalam banyak kesempatan, bisa menjadi pintu masuk untuk tetap berupaya memelihara ‘aleh bakua’ dan akar budaya Minangkabau. Kumpulan pantun yang beliau sampaikan dalam berbagai kesempatan dan peristiwa yang berbeda, kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku ini. InsyaAllah ini akan memperkaya pemahaman kita terhadap kearifan Minangkabau menghadapi hari ini. Selamat.

 

Padang, Januari 2017

Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto Mak Katik

Pelaku seni tradisi, dan penulis pantun tradisi Minangkabau

Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd., Ketua Umum LKAAM Sumatera Barat

SAMBUTAN KETUA UMUM

PUCUK PIMPINAN LEMBAGA KERAPATAN ADAT ALAM MINANGKABAU (LKAAM) SUMATERA BARAT

 

Diawali dengan rasa syukur kepada Allah SWT, kami Pucuk Pimpinan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat menyambut baik terbitnya buku pantun berseri yang berjudul PANTUN SPONTAN ala IRWAN PRAYITNO yang dibuat oleh Bapak Prof. Dr. H. Irwan Prayitno Dt. Rajo Bandaro Basa, M.Si., selanjutnya izinkan saya menyebutnya pada sambutan ini Bapak IP. Kemudian, kita kirimkan pula selawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kegelapan pada alam terang benderang.

Selanjutnya kami LKAAM Sumatera Barat mengucapkan terimakasih kepada Bapak IP yang telah mengambil inisiatif menyusun dan menerbitkan buku yang berisi pantun. Secara sederhana Pantun adalah bentuk puisi lama yang terdiri dari empat larik, berima silang (a-b-a-b), irama yang indah, dan memiliki makna yang penting.

 

Pantun merupakan puisi lama melayu Indonesia yang berasal dari bahasa jawa kuno yaitu “tuntun”, yang berarti mengatur atau menyusun. Pada awalnya, pantun merupakan karya sastra Indonesia lama dengan pengungkapan secara lisan, tetapi semakin berkembangnya pantun kini telah diungkapkan secara tertulis, tidak saja di kalangan sastrawan tetapi sudah dipopulerkan kembali oleh pejabat yang memahami sejarah bahasa dan sastra melayu sebagai asal muasal budaya bangsa Indonesia.

Menurut Abdul Karim Ahli Pantun Melayu Riau bahwa Pantun merupakan karya yang dapat menghibur sekaligus menegur. Pantun merupakan ungkapan perasaan dan pikiran, karena ungkapan tersebut disusun dengan kata sedemikian rupa sehingga sangat menarik untuk didengar atau dibaca apa lagi diucapkan oleh seorang pejabat seperti Bapak IP Gubernur Sumatera Barat dua periode selama 10 tahun ( 2010 – 2015 dan 2016 – 2021 ).

Menurut Buya Hamka orang yang pandai berpantun adalah orang yang berbudi halus dan berakhlak mulia. Buya Hamka pada suatu ketika ada anak muda dari Minangkabau terkatung katung hidupnya di Jakarta. Anak muda ini mengaku kepada Buya Hamka orang Minang minta tolong carikan Masjid untuk tempat tinggal karena anak muda ini pandai sedikit mengaji dan azan. Buya Hamka menjawab harapan anak muda itu dengan pantun yang berbunyi:

 

“Kalau pandai mananam pinang, cubolah tanam batang sicerek. Kalau

memang awak urang Minang, cubolah bapantun agak ciek”.

 

Rupanya anak muda tadi tidak pandai berpantun. Singkat cerita Buya Hamka menganjurkan anak muda itu pulang kampung supaya belajar berpantun dulu di kampung. Menyampaikan pantun ini di kampong sudah dipraktikkan oleh Bapak IP di mana pun beliau menyampaikan sambutan. Orang yang mendengar sambutanya merasa senang dan menenangkan.

 

Ahli Sastra Indonesia HB Yasin juga pernah mengatakan bahwa orang yang pandai menyampaikan pantun secara spontan adalah orang yang cerdas dan tanggap dengan makna alam sekitarnya. Pantun yang disusun dalam buku ini ditinjau dari segi bentuknya ada berupa pantun nasihat, pantun agama, pantun menyindir dengan halus, pantun adat, dan pantun penguatan fakta. Bapak IP bila kita lihat beliau berpidato atau memberikan sambutan di manapun sering sekali menyampaikan pembukaan sambutan, isi sambutan, dan penutup sambutannya dengan pantun.

 

Bapak IP telah mengembalikan karakter anak bangsa Indonesia yang berasal dari bangsa Melayu khususnya kebiasaan orang Minangkabau tempo dulu yang suka berpantun dalam bertutur dan bertunjuk ajar. Kami dari LKAAM berharap agar bangsa Melayu dan khususnya orang Minangkabau supaya membaca buku pantun berseri “Pantun Spontan ala Irwan Prayitno” ini bahkan semua anak bangsa terkhusus lagi pejabat pejabat yang memberikan sambutan di ranah Minang mulailah kembali memberikan sambutan dan bertunjuk ajar seperti yang telah dimulai oleh Bapak IP.

 

Secara berangsur-angsur juga kita harapkan kepada Bapak IP tidak hanya menyampaikan sambutan berbentuk pantun tetapi mulai pulalah menyampaikan sambutan dalam bentuk ungkapan adat Minangkabau seperti: gurindam, seloka, petatah, petitih, mamangan, bidal dan syair-syair yang sangat dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini untuk menghilangkan suasana kegalauan pikiran dan kerisauan anak bangsa.

 

Ahli Sastra Indonesia HB Yasin juga pernah mengatakan bahwa orang yang pandai menyampaikan pantun secara spontan adalah orang yang cerdas dan tanggap dengan makna alam sekitarnya. Pantun yang disusun dalam buku ini ditinjau dari segi bentuknya ada berupa pantun nasihat, pantun agama, pantun menyindir dengan halus, pantun adat, dan pantun penguatan fakta. Bapak IP bila kita lihat beliau berpidato atau memberikan sambutan di manapun sering sekali menyampaikan pembukaan sambutan, isi sambutan, dan penutup sambutannya dengan pantun.

 

Bapak IP telah mengembalikan karakter anak bangsa Indonesia yang berasal dari bangsa Melayu khususnya kebiasaan orang Minangkabau tempo dulu yang suka berpantun dalam bertutur dan bertunjuk ajar. Kami dari LKAAM berharap agar bangsa Melayu dan khususnya orang Minangkabau supaya membaca buku pantun berseri “Pantun Spontan ala Irwan Prayitno” ini bahkan semua anak bangsa terkhusus lagi pejabat pejabat yang memberikan sambutan di ranah Minang mulailah kembali memberikan sambutan dan bertunjuk ajar seperti yang telah dimulai oleh Bapak IP.

Secara berangsur-angsur juga kita harapkan kepada Bapak IP tidak hanya menyampaikan sambutan berbentuk pantun tetapi mulai pulalah menyampaikan sambutan dalam bentuk ungkapan adat Minangkabau seperti: gurindam, seloka, petatah, petitih, mamangan, bidal dan syair-syair yang sangat dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini untuk menghilangkan suasana kegalauan pikiran dan kerisauan anak bangsa.

 

Padang, 25 Januari 2017M/ 26 Rabiul Awal 1438 H

Ketua Umum,

Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd.

Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (Aptesindo)

Ciamik-nya Sang Gubernur

…Bunga anggrek bunga seruni…
…Sungguh indah di pandang mata…
…Kami senang dengan acara ini…
…Habis acara silahkan berwisata…

Begitulah sekelumit isi buku Pantun Spontan ala Gubernur Sumbar Bpk. Irwan Prayitno – pada halaman pembuka buku setebal kurang lebih 276 halaman yang mendapat stempel musium rekor Indonesia (MURI) itu.

Buku ini menjadi inspiratif lantaran juga salah satu cinderamata dalam rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) 2018 yang dihadiri Presiden RI Joko Widodo pada medio Februari lalu.

Setelah membolak balik dan membacanya, rasanya tidaklah berlebihan jika sang Gubernur ingin menyampaikan pesan ciamik dalam sudut pandang komunikasi, budaya, dan tata pemerintahan lokal.

Tanpa berasa, kitapun diingatkan agar jangan sombong di air dangkal karena di air dalam tempat memancing.Jangan lupa kearifan lokal , petatah petitih yang paling penting, demikian Gubernur bergelar Datuk Rajo Bandara Basa ini berpesan.

Kesederhanaan, ketegasan dan friendly sang Gubernur nampak jelas saat menerima rombongan asosiasi pengusaha tempat penimbunan sementara Indonesia (Aptesindo) di Istana Gubernur 8 Nopember lalu.

Satu persatu buku pantun itu-pun berpindah tangan sebagai tanda kasih dan silaturahmi disertai potret keihlasan dan kekeluargaan di ditengah kesibukan waktu dan padatnya tugas2 sang Gubernur.

Saya kemudian teringat kalimat yang sangat bagus: _l Vaya Dhamma Sankhara Appamadena Sampadetha_.  Bukan semata tentang Buddha Gautama. Semestinya juga kita. Karena segala hal yang terkondisi tidaklah abadi. Ada pertemuan juga ada perpisahan.Maka, pesan sang Buddha, berjuanglah dengan tekun dan menebar pencerahan.

Terimakasih atas bukunya. Semoga Allah SWT terus menuntun kebajikan dan memberikan kesehatan bagi Pak Gubernur dan keluarga besar Aptesindo, dan kita semua.

Tetap kita bekerja amanah…
Dan selalu Tingkatkan Ibadah…
Insya Allah kerja kita tak kan salah…
Hidup sukses, selamat dan berkah…
Karena Amanah Tak-kan Salah..(Hal 138).

#Trimakasih Pak Gubernur
#Bravo Aptesindo

  • Nopember 2018

Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

“Agar Pantun diakui sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO”

Saya menyambut baik terbitnya dua karya buku unik yang dipersembahkan dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional 2018 ini. Disebut unik karena keduanya berisi pantun-pantun inspiratif. Kedua buku tersebut adalah “1001 Pantun Pers dalam Rangka Hari Pers Nasional 2018” dan “Pantun Spontan Ala Irwan Prayitno” buku ke-11. Buku yang terakhir ini merupakan kumpulan pantun karya Gubernur Sumatera Barat yang saat ini menjadi tuan rumah peringatan Hari Pers Nasional.

Mengapa buku ini harus disambut? Pertama, pantun tak hanya budaya lisan —dan tulisan— yang harus kita lestarikan, tetapi juga menjadi media komunikasi yang mengedepankan kehalusan budi pekerti. Melalui pantun seseorang dapat melakukan kritik sosial yang tajam tanpa harus menyakiti hati. Melaluinya pula seorang pujangga dapat melantunkan puisi-puisi asmara. Pantun juga dapat menjadi media penyampaian pesan dakwah yang menyentuh jiwa. Pada giliran yang lain, pantun sanggup menjadi humor segar bagi siapa saja yang dapat mengolahnya menjadi canda ria yang jenaka. Dalam dua buku tersebut, kita dapat menangkap kesan bahwa pantun dapat menjadi media apapun tetapi tetap dengan tujuan sama yakni mengelola hubungan harmonis manusia dengan alam semesta.

Kedua, pantun merupakan budaya yang memiliki kekhasan tersendiri. Meski Indonesia bukan satu-satunya negara yang memiliki budaya pantun, tetapi harus diakui bahwa variasi pantun di negeri ini sungguh sangat kaya dengan nama yang berbeda-beda. Penamaan ‘pantun’ tersebar di berbagai wilayah berbahasa Melayu di seluruh nusantara, seperti di sebagian besar Sumatera, sebagian Kalimantan, sebagian Kepulauan Maluku, dll.). Bentuk pantun juga terdapat di sejumlah suku di nusantara, dengan penamaan setempat, seperti di Bima (disebut ‘Patu Mbojo’), Sulawesi Tenggara (disebut ‘Kabanti/Kabachi’), Bugis-Makasar (‘elong’), Batak (‘umpasa’), Mandailing (‘ende ende), Sunda (‘Paparikan’ dan ‘Sisindiran’), Jawa (‘Parikan’), dll. Melestarikan pantun berarti melestarikan budaya Indonesia.

Ketiga, persebaran budaya pantun sangat luas sehingga pantun sepatutnya dianggap sebagai warisan budaya kolektif alam Melayu, melampaui batas-batas nation states. Pusat persebarannya berada di sejumlah wilayah di Indonesia (Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Bengkulu, dan Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Maluku, dan Ternate), di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina (Selatan), dan Thailand (Selatan).
Oleh karena itulah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) akhir-akhir ini sedang berinisiatif mengajak negara-negara pemilik budaya pantun itu untuk berjuang mengajukan kepada markas besar UNESCO agar pantun diakui sebagai warisan budaya dunia.

Di luar ketiga alasan itu, saya ingin memberikan apresiasi kepada Gubernur Sumatera Barat Bapak Irwan Prayitno. Rupanya pantun telah menjadi ciri khas kepemimpinannya. Berpantun secara spontan tidaklah mudah. Oleh karenanya diperlukan nalar yang kuat, kecepatan berfikir yang akurat serta sentuhan seni yang lembut. Saya berharap demikian pulalah kekuatan kepempinan yang dimiliki oleh sang gubernur. Sebagai pemimpin daerah, pengambilan keputusan dan kebijakan yang diliputi kelebihan-kelebihan tadi tentu sangat istimewa.

Selanjutnya saya mengajak semua pihak untuk ikut melestarikan pantun sebagai budaya bangsa. Kenalkanlah kepada anak-anak kita, generasi muda kita, melalui berbagai kesempatan agar lebih mengenal dan menggunakan pantun untuk membangun karakter baiknya. Ragam pantun yang dimiliki oleh suku-suku budaya di Indonesia harus kita dorong untuk memperkaya khazanah kebinekaan yang pada gilirannya dapat mempertemukan hati dan jiwa pelantunnya dalam kebersamaan dan persatuan.

Tengoklah peci Buya Hamka dan Bung Hatta
Ciri khas penutup kepala pemuka agama dan pengukir sejarah bangsa
Elok-eloklah bertegur sapa dengan sesama
Agar hati bertaut dan jiwa terbuka memandang keniscayaan berbineka

Rajut benang menjelma menjadi kain songket berkelindan
Ragam warnanya dipakai indah nan menawan
Lapang dada membuka hati terhadap perbedaan
Mari meminang keberagaman di padang kebersamaan

Jakarta,  17 Januari 2018
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,

ttd

Muhadjir Effendy

</pre>

Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika RI

“Penyampaian yang Unik dan Cemerlang”

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Bagi masyarakat Indonesia, ranah Minang selalu dikenang dengan tradisi bertuturnya yang indah. Sejak pelajaran bahasa sejak sekolah dasar kita sudah berkenalan dengan khazanah sastra dan seni yang berasal dari bumi-budaya Melayu, termasuk juga pantun. Meski kita kemudian wajib belajar dan memahami pantun khususnya Melayu, namun rasanya tetap saja selalu kalah merdu mengimbau jika dibandingkan dengan penutur asli dan masyarakat yang langsung menghirup udara dan mencecap air bumi Sumatera Barat ini.

Saya hanya bisa mengagumi kemampuan Pak Gubernur Sumatera Barat, Prof. Dr. Psi. Irwan Prayitno, MSc ini, yang bukan hanya piawai membuat pantun, namun juga produktif. Hasilnya adalah buku yang ditulis spontan dan dalam waktu singkat ini, padahal topiknya dibatasi hanya pada soal tentang media massa. Luar biasa.

Untuk itu perkenankan saya belajar dari Pak Irwan Prayitno, membuat sekapur sirih untuk buku ini dalam bentuk pantun ala kadarnya. Harapan saya dengan banyak belajar seperti ini, tradisi pantun yang indah tetap diingat dan dilestarikan oleh masyarakat untuk menyampaikan konten-konten positif atas berbagai topik di sekitar kita.

Ke Medan kita menari tor-tor
Pulangnya diantar naik bentor
Pak Irwan Prayitno ternyata bukan hanya profesor
Tapi buku pantun ini membuatnya pantas masuk museum rekor

Kacang panjang, kacang kenari
Buah sukun, buah kecapi
Saya bikin satu pantun saja butuh dua hari
Eh, Pak Irwan Prayitno bikin satu buku pantun hanya butuh segelas kopi

Bunga sakura, tumbuh di Jepang
Petik satu, masukkan ke rantang
Bersyukurlah kita bahwa HPN 2018 dirayakan di Padang
Karena Pak Gubernurnya super-antusias menyambut semua yang datang

Kunang-kunang di dalam keranjang
Keranjangnya dari kayu akasia
Ranah Minang punya sejarah pers yang panjang
Menjadi salah satu pelopor jurnalisme di Indonesia

Jika Tuan beli ketupat
Pilih saja yang paling berat
Sepulang HPN para wartawan akan bertambah semangat
Terinspirasi oleh kemolekan tanah Sumatera Barat

Kain batik sebagai kemben
Selendang sutra untuk menari
Pers harus tetap independen
Salah satu pilar demokrasi penopang negeri

Sungguh nikmat si soto babat
Dalam mangkuk berkuah santan
Jurnalis adalah profesi yang bermartabat
Hanya menghamba pada kebenaran

Simpan uang di bawah bantal
Buat beli sepotong bakwan
Zaman now yang serba dijital
Tidak boleh menggerus idealisme wartawan

Pagi-pagi bacalah koran
Awas jangan sampai ketiduran
Terima kasih Pak Irwan Prayitno dan segenap jajaran
Kami semua boleh “Meminang Keindahan di Padang Kesejahteraan”

Harum melati memberi kesegaran
Bunga suntingan anak dara
Semoga HPN 2018 sukses penyelenggaraan
untuk mewujudkan Indonesia sejahtera

Kepada pembaca sekalian, saya sampaikan selamat menikmati keindahan bertutur, sekaligus pemahaman yang kaya akan dunia media massa, yang ditulis oleh dalam buku ini. Terima kasih Pak Irwan Prayitno yang telah memperkaya bacaan dan referensi dunia media massa kita dengan sudut pandang dan penyampaian yang unik dan cemerlang ini.
Wabillahi taufik wal hidayah.

Wassalamu alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 10 Januari 2018
Menteri Komunikasi dan Informatika RI
Rudiantara

Margiono, Ketua Umum PWI Pusat


“Merupakan Bentuk Kecerdasan Berekspresi”

Ass Wr Wb
Syukur ke hadirat Allah Swt Bapak Gubernur Irwan Prayitno meluncurkan buku pantun beliau berjudul 1001 Pantun Pers, Pantun Spontan ala Irwan Prayitno pada saat perhelatan Hari Pers Nasional 2018 yang berlangsung di Sumatera Barat.
Masyarakat Sumatera Barat sudah mengetahui prestasi Pak Gubernur yang telah mencetak berjilid-jilid buku pantun, yang merupakan kompilasi dari pantun-pantun yang disampaikan dalam berbagai kesempatan selama bertahun-tahun. Pantun-pantun itu bersifat tematik, sesuai dengan acara yang dihadiri, sehingga sebenarnya pantun ini merupakan catatan sejarah kegiatan beliau, khususnya saat menjalan peran sebagai Gubernur.
Pantun-pantun itu juga merupakan bentuk kecerdasan berekspresi karena dilakukan secara spontan dalam arti baru dibuat beberapa saat sebelum memberi sambutan. Biasanya beliau menyempatkan diri mencatat-catat ketika menyimak suasana dan menunggu kesempatan berbicara, lalu pantun pun langsung siap saat menyampaikan sambutan. Ya sambutannya berupa pantun. Bukan sambutan yang dihiasai pantun atau sekadar pantun mendahului dan mengakhiri sambutan.
Kami menyambut baik penerbitan buku pantun ini dengan harapan menjadi bahan bacaan masyarakat tetapi juga sekaligus dapat menjadi bahan kajian bagi kalangan umum maupun akademisi. Mudah-mudahan karya sastra lisan yang dibukukan ini memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kita semua khususnya penggemar pantun.
Selamat kepada Pak Gubernur Irwan Prayitno dan masyarakat Sumatera Barat.
Wallaikumsalam Wr Wb

Pengurus PWI Pusat

Margiono
Ketua Umum

TAN SRI DATO’ SERI UTAMA DR. RAIS YATIM, Penasihat Sosio-Budaya Kerajaan Malaysia

BUKU Pantun Jilid ke-5 karangan Dr Irwan Prayitno ini membuktikan kecintaan beliau terhadap pantun sebagai sastera lisan rakyat. Kebolehan beliau ini lantas mengisi satusatunya kekosongan aspek budaya tinggi dunia Melayu.

Jilid-jilid buku ini yang terdahulu, 1-4 cukup mencerminkan sifat intim penulis dengan bahasa indah yang lazimnya melestarikan sastera lisan seperti pantun, seloka, perumpamaan, syair dan gurindam. Kesemua ini, kita akui, sudah melalui liku-liku kemalapan dalam perjuangan budaya tinggi kita di Ranah Minang khasnya serta Dunia Melayu amnya.

Burueng haling tabang tinggi
Tabang mengirok ka talago lamo
Kok hilang kama ka dicari?
Kok lalok bilo ka tajago?

Dengan sajian pantun-pantun Bapak Gubenur kita ini saya yakin suatu kebangkitan seni lisan dapat dimengertikan sebagai penting. Anak-anak dan para guru dipohon agar turut menyegarkan cabang seni budaya kita ini. Sesungguhnya Dr Irwan merupakan satu-satunya pemimpin propinsi Nusantara yang memberi gambaran kesungguhan dan kemesraan dalam arena bahasa indah. Menzahirkan pantun melalui majlis, percakapan dan ekspresi minda ditengah-tengah dunia moden putar ala mini harus diberi pengiktirafan unik, apatah lagi dalam kancah kehidupan digital hari ini. Pantun berupa pusaka perhubungan seni alam Melayu yang punya sifat dan ciri yang amat seni. Ia juga mencerminkan ketangkasan minda berfikir tangkas.

Seseorang pemimpin atau barangsiapa saja yang melunaskannya sekaligus layak dianggap istimewa dan berjiwa tinggi.

Karni Ilyas, Tokoh Pers Senior

“Gubernur Negeri Kata-Kata”

Saya menyambut gembira dan bangga atas terbitnya Buku “1001 Pantun Pers: Pantun Spontan ala Irwan Prayitno.” Apresiasi yang tinggi saya berikan kepada Gubernur Sumatera Barat, Bapak Irwan Prayitno, penulis Buku ini, karena secara khusus menulis Pantun Pers. Hal yang tidak pernah terpikirkan dan tidak pernah dibuat oleh wartawan asal Minang sekalipun. Ini juga memberikan gambaran besarnya perhatian Penulis kepada dunia Pers Indonesia.

Buku ini lahir di tengah keprihatinan akan semakin pudarnya kecerdasan linguistik (linguistic intelligence) dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, khususnya di kalangan generasi muda. Kecanggihan teknologi komunikasi tidak sejalan dengan kecanggihan linguistik yang mengekspresikan simbol artistik dan kedalaman serta kebijaksanaan berpikir.

Pantun yang berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau, merupakan jenis kesusasteraan tradisional Nusantara yang mengekspresikan simbol artistik, romantik, dan kebijaksanaan berpikir. Pantun adalah produk kecerdasan linguistik dan kecerdasan budaya Nusantara. Hasil dari kecepatan olah nalar kreatif dan imajinatif.
Pantun-pantun dalam buku ini memang sedikit banyak menyimpang dari pakem pantun seharusnya. Pakem pantun seharusnya adalah larik pertama dan kedua merupakan sampiran, sementara larik ketiga dan keempat merupakan isi. Jika sampiran pada larik pertama dan kedua berfungsi sebagai persiapan isi pada larik ketiga dan keempat secara fonetis dan sekaligus sebagai isyarat isi, maka disebut sebagai pantun mulia. Tetapi jika sampiran pada larik pertama dan kedua berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis saja, dan tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi pantun pada larik ketiga dan keempat, maka disebut pantun tak mulia.

Tetapi lepas dari soal itu, Penulis Buku ini mengajak kita semua kembali kepada kekayaan pantun yang tidak lain menggambarkan kecerdasan linguistik warisan leluhur Nusantara yang di dalamnya kaya dengan simbol artistik dan kedalaman serta kebijaksanaan berpikir.

Lebih daripada Buku ini menunjukan dan menegaskan kembali eksistensi historis dan kekinian Sumatera Barat sebagai Negeri Kata-Kata yang dari dalam rahimnya telah melahirkan sastrawan-sastrawan hebat yang memiliki kecerdasan linguistik yang mengagumkan. Dan Penulis Buku ini adalah Gubernur Negeri Kata-Kata itu.

Bukan nyiur sembarang nyiur.
Hanya nyiur orang koto yang berdaun rimbun.
Bukan gubernur sembarang gubernur.
Hanya Gubernur Irwan Prayitno yg pandai berpantun.

Jakarta, Januari 2018
Karni Ilyas